Aku berjalan dengan peluh yang sudah bertumpuk di kening.
Sambil sesekali megusapnya, aku berjalan
gontai menuju tempat duduk yang ada ditepi danau, pusat taman kota itu.
Di sekelilingku terlihat sepi, hanya ada tukang sapu taman yang
sedang membersihkan dedaunan kering di pinggir danau. Lagi pula, siapa juga
yang mau pergi ke taman di cuaca yang panasnya minta ampun seperti ini. Kecuali
orang yang disuruh nganterin barang laundry-an tanpa kendaraan pribadi. Iya,
itu aku!
“Panas banget! Matahari nyusahin aja sih. Harusnya udah enak
gue tidur di kamar nyalain AC. Ga perlu keringetan bau begini”
Selagi aku mengibas-ngibas kerah bajuku, tukang sapu taman
itu berjalan mendekat ke arahku. Setelah dekat, aku baru sadar bajunya tidak
berseragam seperti tukang sapu jalan seperti biasanya.
“Permisi mas, saya sapu sekitar sini dulu ya”
“Ya, pak”
Aku menjawabnya singkat. Mengganggu saja, sih! Sudah tau
panas begini bisa merambat ke emosi. Bisa-bisa emosiku terbakar juga.
Tapi, hebat juga bapak ini. Panas-panas gini masih semangat
nyapunya.
Akhirnya kuputuskan untuk membuka suara.
“Pak, kok tahan sih panas begini tetep nyapu-nyapu?”
“Ah, ngga kok mas, ini biasa saja. Masih untung juga ada
matahari, kalau tidak ada, wah ga kebayang deh! Makanya paling saya syukri
saja”
“Iya sih ada matahari. Tapi panasnya begini, percuma juga.
Yang ada bikin sakit!”
Bapak itu menyandarkan sapunya pada sebuah pohon dan
berjalan ke arah tempat duduk di sebelahku.
“Saya numpang duduk ya, mas”
Aku menggeser posisi dudukku sehingga memberinya sedikit
ruang lebih. Terdengar kembali suara di sampingku.
“Saya bersyukur mas setiap pagi, ketika saya menyibak tirai
rumah saya, saya melihat cahaya. Cahaya yang di pancarkan sang mentari sebagai
isyarat dimulainya kehidupan di hari yang baru. Karena Allah yang menciptakan
alam semesta beserta isinya, temasuk matahari, yang disebut-sebut sebagai
sumber kehidupan. Allah memang memiliki sifat Al-Muhyii, mas. Yang maha memberi
kehidupan.”
Loh loh kenapa dia jadi berceramah begini. Tidak tau orang
sedang capek dan kepanasan apa! Sudahlah aku pura-pura tidur saja. Aku
memejamkan mataku dan kembali kudengar suara di sampingku.
Yaampun!!
“Saya senang deh mas melihat taman kota dari tempat duduk
ini. Dari sini, kita bisa lihat segala penjuru dari ujung sana, sampai ujung
sana.” *Tangan bapak itu menunjuk
sudut-sudut taman kota yang indah. “Disini saya bisa lihat berbagai macam
tumbuhan, hewan, dan keindahan alam lain. Ada kupu-kupu yang sedang menghisap
madu, kelinci-kelinci yang sengaja dilepas pemiliknya disini, hingga
burung-burung yang berebut minum di wastafel sebelah sana. Allah memang maha
pencipta ya, mas. Indah sekali ciptaan-ciptaannya.”
Ntah sampai bapak ini terus berceloteh. Terserah deh, aku
mau tidur beneran saja.
Tiba-tiba bapak itu terkekeh. Aku membuka sebelah mataku
untuk melihatnya. Dan aku tak bisa manahan mulutku ketika bertanya
“Kenapa pak?”
“Oh ngga mas. Ini saya jadi teringat minggu kemarin saya
hampir di kroyok pengunjung taman kota ini.”
Mataku terbuka sepenuhnya. Sambil mengangkat alis, aku
bertanya
“Loh emangnya bapak melakukan apa?”
“Saya sedang menyapu dedaunan kering disana, ketika saya
menemukan sebuah dompet. Ketika saya memungutnya, ada segerombolan yang
terlihat sedang berlari dan ketika mata mereka tertuju pada dompet yang saya
pegang, sedetik kemudian tubuh saya diangkat dan ingin dihajar.”
“Waduh, terus gimana pak?”
“untunglah mbak-mbak yang punya dompet langsung membantah
bahwa saya bukan pencurinya, setelah melihat kalau isi dompet itu masi utuh
kerumunan itu segera meminta maaf dan membubarkan diri. Sepertinya pencopetnya
tidak sempat mengambil apa-apa karena panik.”
“Wah, bagus ya pak. Untuk bapak baik-baik saja.”
“Iya, mas, alhamdulillah. Allah memang Al Mu’min. Maha
pemberi rasa aman.”
“Bapak sudah berapa lama kerja disini?”
“eh, hm... kalo kerja disini sih sudah 5 tahunan, mas..”
“Ga berniat cari kerja lain?”
“Saya suka mas kerja disini, mengelola taman ini. Saya suka
membersihkannya, merawatnya, agar pengunjung disini merasa aman, nyaman, dan
senang. Saya senang melihat wajah-wajah para pengunjung yang ceria. Saya pikir
kalau saya bisa membuat mereka bahagia dengan membersihkan taman ini, saya bisa
mendapatkan kebahagiaan juga. Karena Allah kan Al-Muntaqim, maha pemberi
balasan.”
Aku tak mengerti dengan kata-kata bahasa arab yang
dilontarkan oleh bapak ini sedari tadi.
“Sebenarnya apa itu kata-kata yang sedari tadi bapak
ucapkan?”
“Yang sedari tadi saya ucapkan adalah asmaul husna,
nama-nama Allah yang baik. Jumlahnya ada 99. Yang saya sebut tadi hanya sedikit
bagian kecil diantaranya.
Diriwayatkan dalam sebuah hadist
“Sesunguhnya Allah memiliki 99
nama, seratus kurang satu, siapa yang menjaganya maka dia masuk surga.”
(HR. Bukhari, no.2736, Muslim, no.2677 dan Ahmad, no.7493)
99 nama Allah yang
menuntun kita ke dalam surga-Nya apabila kita menghafalnya, merenungkan maknanya, dan
mengamalkan kandungan maknanya. Tujuan akhir dari kehidupan kita ini adalah
alam yang kekal yaitu surga atau neraka. Seluruh umat muslim pastinya
mengharapkan surga, sebagai alam yang kekal, untuk kehidupan yang kekal pula
nantinya. Dan 99 nama Allah ini dapat membantu kita dalam mencapai tujuan akhir
kita, umat muslim di seluruh penjuru dunia. Termasuk saya dan kamu, kan?”
“ehm, ntahlah, pak.
Saya tidak yakin. Selama ini saya tidak berperilaku seperti umat muslim. Saya
masih lalai dalam sholat, meninggalkan puasa, masa bodo dengan agama yang
selama ini saya pegang. Saya takut Allah tidak bisa menerima saya.”
Adzan ashar
berkumandang cukup keras. Sepertinya dari masjid sekitar sini. Bapak itu
berbicara
“Mari, kita ke
masjid. Sudah adzan.”
Selama perjalanan,
kami diam membisu.
Setelah sekian lama
aku tak menyentuh kopeah, aku kembali
menyentuhnya, memakainya, di shaff paling depan di sebuah masjid megah
berimamkan bapak tukang sapu yang telah mengganti bajunya
dengan baju koko
rapih, tampan, dan terlihat lebih muda daripada di taman tadi.
Dan mereka
menyebutnya bapak Ir. H. Ahmad Surya. Seorang pengelola taman kota yang sangat
maju, dan pendiri masjid megah ini diatas tanah wakafnya sendiri.
Selesainya sholat,
dzikir, dan berdoa, pak Ahmad mengajak saya untuk melanjutkan obrolan tadi
diundakan tangga bagian belakang masjid.
Aku tidak tahan
ingin menanyakannya.
“Pak, kenapa bapak
tidak bilang kalau bapak pengelola taman kota itu, bukan hanya sekedar tukang
sapu?”
“Memangnya kenapa
dengan tukang sapu? Tukang sapu pekerjaan halal kok, mas.”
“Tapi pengelola
taman jauh lebih kaya..”
“Itu Allah mas.
Allah yang maha kaya, Al-Ghaniyy.”
Aku terdiam.
“Lanjutin omongan
mas yang tadi, omong-omong, mas bisa coba untuk bertaubat.”
“Allah tidak
mungkin menerima saya, saya sudah kotor seperti ini.”
“Mas tidak boleh
bilang seperti itu. Allah maha pemaaf, pengampun, penerima taubat. Allah tidak
memandang siapa yang bertaubat tapi Allah melihat kesungguhan orang tersebut.
Jika mas ingin sungguh-sungguh bertaubat, niatkan dalam hati mas. Karna
sesungguhnya Allah maha adil.”
“kira-kira kapan
saya bisa bertaubat?”
“Durasi hidup
bagaikan jarak dari waktu adzan ke sholat. Ketika lahir, kita diadzankan.
Ketika meninggal, kita di sholatkan. Mas ingat selang waktu antara adzan dan
sholat? Sering kali kita merasa terlalu cepat sehingga kita ketinggalan sholat
berjamaah. Kebayang betapa singkatnya
kan, mas? Kita pun tidak tahu kapan dan dimana kita mati, apa dan bagaimana
bisa terjadi. Oleh karena itu, semuanya harus dipersiapkan dari detik ini juga.
Agar tak ada penyesalan di kemudian hari. Mas pasti bisa jadi lebih baik. Mas
pasti bisa menggapai tujuan akhir mas....”
Aku terenyuh dan
dari ba’da ashar hingga habis nafasku, kupakai
waktuku untuk menebus semua dosa-dosaku.
Sumber:
super sekali gan , i like it , i need it , i love it , i shake it , i eat it , i punch it , i smack it . lanjutkan artikelnya ibu2 bapak2 siapa yang punya anak bilang aku aku yg tengah malu sama teman temanku woooww.
BalasHapus